Partai AfD Dituduh Hina Anggota Parlemen Perempuan Jerman

Partai AfD Dituduh Hina Anggota Parlemen Perempuan Jerman. Insiden misoginisme di Bundestag Jerman memanas setelah Menteri Kesehatan Nina Warken dari CDU buka suara soal “hinaan mengejutkan” dari anggota AfD pada Kamis 4 Desember 2025, di Berlin. Warken sebut sering dengar komentar kasar soal penampilan dan pakaian perempuan politisi, terutama saat duduk dekat fraksi AfD—partai sayap kanan terbesar yang duduk di depan bangku pemerintah. Tuduhan ini lanjutan tren naiknya serangan verbal sejak AfD masuk parlemen 2017, di mana jumlah teguran naik dari 2 kasus 2017 jadi 135 sejak 2021. Warken, yang pimpin gerakan perempuan CDU, picu debat soal budaya toksik di parlemen—AfD dituduh tingkatkan misoginisme, meski partai itu tolak tudingan dan sebut “kebebasan berpendapat”. Di tengah pemilu 2025 yang buat AfD jadi oposisi terbesar, insiden ini ingatkan risiko ekstremisme kanan bagi demokrasi Jerman. BERITA BOLA

Tuduhan Nina Warken dan Pola Insiden: Partai AfD Dituduh Hina Anggota Parlemen Perempuan Jerman

Nina Warken, yang duduk dekat AfD di Bundestag, cerita dengar lebih dari yang terekam resmi: “Saya bisa dengar hinaan soal pakaian atau rambut perempuan politisi lain, bukan cuma opini politik.” Ia sebut komentar itu “abysmal” dan menargetkan penampilan, seperti saat anggota AfD komentar rok pendek atau gaya rambut. Ini bukan pertama: Warken pimpin debat soal perubahan nada parlemen sejak AfD masuk, di mana teguran naik tajam—47 kasus 2017-2021, lalu 135 sejak 2021. Perempuan politisi dari SPD dan Greens laporkan serupa: komentar seksis seperti “headscarf girls” dari Alice Weidel, pemimpin AfD, yang tegur Wolfgang Schäuble 2018. AfD, yang klasifikasi ekstremis oleh BfV, dituduh ciptakan lingkungan toksik—Warken sebut ini “ancaman bagi perempuan di politik”.

Respons AfD dan Sejarah Retorika Partai: Partai AfD Dituduh Hina Anggota Parlemen Perempuan Jerman

AfD tolak tuduhan Warken sebagai “pencitraan politik”. Pemimpin Alice Weidel sebut “kebebasan berpendapat” di parlemen, dan klaim tudingan ini “serangan dari elit” untuk redam suara AfD. Tapi sejarah partai penuh contoh: Weidel sebut migran “knife men on welfare” 2018, dan anggota seperti Maximilian Krah tuduh hina perempuan Muslim. Laporan BfV 2025 klasifikasi AfD ekstremis, sebut partai pegang pandangan rasial yang langgar demokrasi—termasuk misoginisme anti-feminis. Insiden baru ini lanjutan: Oktober 2025, pemuda AfD nyanyi lagu Nazi di acara New York, picu kritik global. AfD, yang menang 25 persen suara pemilu 2025 dan jadi oposisi terbesar, gunakan retorika kasar untuk tarik perhatian—tapi Warken bilang ini “bikin parlemen tak aman bagi perempuan”.

Dampak ke Parlemen dan Masyarakat Jerman

Tuduhan ini picu gelombang solidaritas: 16 pengacara konstitusi dorong larang AfD, sebut partai ancam norma demokrasi. Bundestag catat naik teguran misoginis 300 persen sejak 2017, buat perempuan politisi ragu bicara. Dampak sosial luas: survei 2025 tunjuk 40 persen perempuan Jerman takut politik karena ujaran kebencian online AfD. Di Thuringia, AfD pegang “blocking minority” dan blok pengangkatan hakim, tambah tekanan. Kritik dari CDU seperti Friedrich Merz sebut AfD “firewall” yang retak—mereka tolak koalisi meski AfD naik. Warken harap debat ini dorong aturan baru: “Parlemen harus lindungi semua, bukan biarkan ekstremisme menang.”

Kesimpulan

Tuduhan AfD hina anggota parlemen perempuan Jerman dari Nina Warken jadi panggilan darurat soal misoginisme di Bundestag, di mana tren naik teguran sejak 2017 tunjukkan budaya toksik partai sayap kanan. Dari komentar penampilan hingga retorika kasar Weidel, AfD tolak tapi sejarahnya bicara sendiri—ini ancam demokrasi di mana perempuan 30 persen anggota parlemen. Dengan AfD oposisi terbesar pasca-pemilu 2025, waktunya firewall kuat: larang ekstremisme dan lindungi suara perempuan. Jerman tak boleh biarkan hinaan jadi norma—parlemen aman untuk semua, atau demokrasi retak.

BACA SELENGKAPNYA DI…